Dibawah ini adalah
salah satu contoh saja yang kebetulan dipublikasikan dan mudah dikutip
dari situs sebuah Universitas Negeri yang menunjukkan betapa mahalnya
biaya pendidikan (baru mau masuk saja) dan betapa kandasnya harapan dan
impian orang-orang tak berpunya untuk menitipkan putra-putri mereka ke
lembaga pendidikan tinggi ini. Universitas milik Negara yang nota bene
pembiayaannya lebih banyak berasal dari uang rakyat itu ternyata tak
semua rakyat boleh merasa memilikinya. Kita menjadi heran; mengapa
dinegeri yang kaya ini dan penduduknya yang masih tergolong rendah
pendidikannya, pendidikan kok jadi barang mewah ?
Kalau rakyatnya sudah sejahtera itu mah lain Kang ! eleh…eleh…
Setelah itu tak satupun Universitas Negeri
yang mahal itu bisa mempertanggungjawabkan hasil pendidikannya selama
lebih kurang 4-6 tahun dengan bermacam-macam bentuk dan alasan
pembiayaan. Kondisi ini semakin memperkuat asumsi kita mengenai tidak
becusnya pemerintah mengelola pendidikan sekaligus tidak peduli dengan
amanat UUD tentang Hak Rakyat untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan
yang layak.
Kita tidak dapat menggambarkan bagaimana
jadinya generasi muda kita ini selanjutnya, paling-paling bangun
pabrik,datang orang asing sebagai manejer lalu anak muda kita jadi kuli !
Atau bisa ekstreem, rakyat berbondong-bondong
mengirimkan anak-anaknya untuk dididik di negara tetangga yang mungkin
jauh lebih murah pembiayaannya dengan mutu yang jauh lebih baik. Atau
lebih ekstreem lagi rakyat ogah menyekolahkan anak-anaknya kependidikan
tinggi karena sudah apatis terhadap pendidikan tinggi. Bisa juga rakyat
ramai-ramai beralih perhatian ke Perguruan Tinggi Swasta yang jauh lebih
manusiawi. Mengapa manusiawi ? karena paling tidak fasilitasnya
sesuailah untuk tempat manusia dididik,bayarannya boleh dicicil sampai
tiga kali. Beginilah suasana dunia pendidikan kita, yang rubuh,yang tak
ber WC,yang tak berguru,yang sering nggak masuk guru atau dosennya,yang
kemahalan biayanya,yang menambah jumlah pengangguran terbuka,dan segala
macam problematika namun tidak cukup untuk menggelitik hati nurani para
pemimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar